Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, Bintang Puspayoga, menerima Ketua LPA NTB bersama staf dan konsultan Unicef, Kamis (2/5), di Ruang Rapat Hotel Santika Mataram.
Kehadiran Menteri ke NTB serangkaian dengan kunjungan ke salah satu SLB di Kota Mataram dan penandatanganan MoU lintas sektor terkait pencegahan perkawinan anak. Hadir mendampingi Deputi Bidang Pemenuhan Hak-hak Anak, Dr. Ir. Tribudiarta Nur Sitepu beserta sejumlah staf. Pun hadir Kepala DP3AP2KB NTB, Dra. Nunung Triningsih, MM.
Dalam kesempatan itu, berlangsung dialog berkenaan dengan pencegahan perkawinan anak yang marak di NTB. Salah satunya intervensi LPA NTB bersama Unicef melalui Program Berani II.
Konsultan Unicef, Suratman, memaparkan persoalan perkawinan anak masih menjadi isu elitis. Hal ini dinilainya merupakan kendala tersendiri. Dampaknya, masyarakat merasa tidak terjadi apa apa walaupun perkawinan anak berlangsung terus menerus.
“Perlu menjadikan sebagai isu publik agar masyarakat memahami dampak negatif perkawinan anak, ” kata Suratman.
Kondisi perkawinan anak di NTB yang dilatari persoalan kompleks. Sementara itu, intervensi sering dilakukan secara parsial atau tidak didesain sebagai sebuah sistem.
Berbagai intervenai seperti menginisiasi regulasi di tingkat provinsi, kabupaten hingga desa. Persoalannya, kasus perkawinan anak di NTB naik.
Kata Suratman, dari berbagai diskusi, mengemuka jawaban bahwa kerja-kerja parsial tidak mendatangkan hasil maksimal.
“Di tingkat pemerintah masalah perkawinan anak jangan jangan dianggap sebagai tanggung jawab DP3AP2KB. Kalau cuma satu dinas tak akan selesai. Perlu fokus ke depan agar tidak dijadikan isu DP3 AP2KB, ” paparnya.
Menurutnya, ke depan perlu duduk bareng menangkap isu ini melalui sistem yang terintegrasi. Dalam konteks NTB, ada leadership yang bisa menjadikannya sebagai prioritas pembangunan. Karena, sementara ini dukungan anggaran sangat kecil.
“Kalau semua OPD turun bersama situasinya bisa berubah,” katanya.
Sekretaris LPA NTB, Sukran Hasan, mengatakan ada 8 sampai 10 LSM yang bergerak dengan isu yang kurang seksi ini. Kini,7 LSM yang sedang bekerja untuk perlindungan anak.
“Kami ingin kerja kolaboratif dan terintegrasi serta mendorong pemangku kepentingan untuk bergerak integratig, ” ujarnya.
Iklim kolaboratif, kata dia, sudah mulai tercipta. Belakangan ada kecenderungan LSM melakukan kerja kolaboratif. Ia berharap pemerintah pun melakukan kerja terintegrasi.
Menteri PPPA, Bintang Puapayoga, menilai upaya pencegahan perkawinan anak tidak bisa dilakukan sendiri.
Ia menilai peran para pihak seperti PKK bisa diikutkan melalui dasa wisma dengan melibatkan posyandu keluarga.
“Saya yakin PR kita akan bisa diselesaikan asalkan dibangun komitmen bersama. Jangan parsial. Kita bangun sistem untuk pencegahan perkawinan anak, ” katanya.
Bagaimana dengan pemerintah? Bintang menilai perspektif pimpinan daerah sudah mulai berubah sehingga kepala dinas yang mewilayahi perempuan dan anak di beberapa daerah mulai dipilih sangat selektif.
“Karena dua pertiga penduduk adalah perempuan dan anak,” cetusnya. Ian