“Ketika anak yang lahir di Sumbawa menangis, itu seolah gambaran cerita hidupnya, karena ia lahir dalam jebakan siklus kemiskinan dan keterbatasan”
Yuni Ilmi Kurniati, Kepala Bidang Sosial Budaya P2M (Penelitian dan Pengabdian Masyarakat)
Di Kabupaten Sumbawa, masih banyak anak-anak dan perempuan hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Mereka terpinggirkan dari akses administrasi kependudukan, layanan kesehatan, dan pendidikan. Permasalahan seperti stunting dan anak tidak sekolah adalah hal yang umum terjadi.
Saat seorang anak lahir, ia tidak langsung bisa mendapatkan akses dokumen kependudukan seperti akta kelahiran dan kartu identitas anak (KIA). Tanpa dokumen resmi, anak tersebut tidak mendapat akses ke administrasi kehidupan, misalnya akses ke sekolah, dan mendapatkan layanan kesehatan seperti imunisasi. Hak-hak dasar anak-anak terabaikan dan mereka terjebak dalam siklus kemiskinan dan keterbatasan.
Melihat kondisi anak-anak yang terpinggirkan, Yuni Ilmi Kurniati, seorang Kepala Bidang Sosial Budaya P2M (Penelitian dan Pengabdian Masyarakat), sebelumnya menjabat di Bappeda, menyadari perlunya perubahan yang mendesak. Dalam kesehariannya, Yuni merancang kegiatan dan anggaran di OPD desa di Sumbawa, tempat ia berasal.
Terinspirasi oleh filosofi lokal “peditode,” yang berarti “peduli,” Yuni bersama timnya merancang program Buat Desa Peditode, sebuah inisiatif yang berfokus pada integrasi layanan perlindungan anak. Melalui kolaborasi dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dan masyarakat, program ini diluncurkan pada tahun 2022 dengan harapan membawa perubahan signifikan bagi komunitas yang rentan.

Ternyata dalam perjalanannya, Yuni menghadapi berbagai tantangan. Meski banyak anggaran daerah yang keluar, hasilnya kurang maksimal. Upaya Yuni untuk mengkoordinasikan berbagai bagian di bawah pemerintah desa untuk mengintegrasikan layanan perlindungan anak sulit mendapatkan hasil dari OPD yang kurang terorganisir. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah sistem yang sudah ada agar lebih efektif dan efisien dalam memberikan layanan kepada anak-anak.
Alih-alih menyerah, Yuni melihat kondisi ini justru sebagai peluang untuk melakukan perbaikan. Dengan tekad kuat, ia mengusulkan inovasi dengan membentuk Pusat Integrasi Layanan Perlindungan Anak (PILPA). Program ini bertujuan untuk menggabungkan berbagai layanan yang ada menjadi satu kesatuan yang lebih terkoordinasi dan terfokus pada kebutuhan anak-anak dan perempuan di desa-desa Sumbawa.
Dengan adanya PILPA, layanan menjadi lebih terintegrasi. Ini sangat penting karena masyarakat yang tadinya memiliki kendala geografis untuk mendapatkan akses ke layanan-layanan di berbagai instansi yang letaknya tersebar di seluruh pulau, jadi bisa mendapatkan akses tersebut di wilayah mereka tinggal, tanpa perlu berpindah-pindah dari satu instansi ke instansi lain.
Anak-anak yang sebelumnya tidak mendapatkan hak-haknya jadi bisa memiliki akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi kependudukan.
Dengan bantuan dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan organisasi seperti UNICEF, Yuni memulai langkah-langkah konkret untuk mewujudkan visinya. Salah satu langkah awal yang diambil adalah mengusulkan surat edaran untuk menambah 12 desa ke dalam program PILPA.
Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa semakin banyak anak-anak yang mendapatkan hak mereka atas kesehatan, pendidikan, dan perlindungan. Meskipun prosesnya memakan waktu, integrasi layanan akhirnya berhasil diimplementasikan di tingkat pemerintah daerah.
Layanan terintegrasi ini berhasil menghemat anggaran sekitar 75%, karena biasanya anggaran terbesar dibutuhkan untuk koordinasi dan logistik akibat jarak yang jauh dan akses terbatas antara desa-desa.
Dengan memanfaatkan posyandu keluarga sebagai pusat kegiatan, Yuni dan timnya bekerja tanpa lelah untuk memberikan akta kelahiran, kartu identitas anak, dan layanan kesehatan. Di tahun 2022, program ini berhasil menjangkau lebih dari 600 anak, melampaui target awal 500 anak. Anak-anak yang sebelumnya tidak bersekolah kini memiliki kesempatan untuk kembali ke bangku sekolah atau mengikuti program pendidikan alternatif.
Melihat dampak positif yang telah dicapai, Yuni bertekad untuk memperluas program ini. Pada tahun 2023, ia dan timnya bekerja keras untuk mereplikasi program Buat Desa Peditode di lima desa lokus stunting dan lima desa ramah perempuan dan anak. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah desa, kecamatan, dan organisasi, sangat penting untuk keberlanjutan dan perluasan program ini.
Program Buat Desa Peditode telah membuktikan bahwa integrasi layanan dapat membawa perubahan signifikan. Jika program ini direplikasi, dampaknya akan semakin luas dan mencakup penurunan angka stunting karena anak-anak di desa-desa target akan mendapatkan akses ke layanan kesehatan yang lebih baik, sehingga angka stunting dapat dikurangi secara signifikan.
Selain itu, akan ada peningkatan akses pendidikan di mana anak-anak yang putus sekolah atau tidak memiliki akses ke pendidikan akan mendapatkan dukungan untuk kembali bersekolah atau mengikuti program pendidikan alternatif.
Perlindungan anak juga akan lebih kuat melalui kolaborasi dengan berbagai pihak, memastikan hak-hak dasar anak, seperti akta kelahiran dan kartu identitas, terpenuhi. Pemberdayaan perempuan juga bisa ditingkatkan, karena perempuan di desa-desa target akan mendapatkan dukungan dan layanan yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan keluarga.
_nd