Di sebuah desa kecil di Lombok Utara, ada seorang pria yang berdiri mengubah nasib mereka yang selama ini terbungkam, seperti perempuan yang mengalami KDRT, atau korban pernikahan anak. Dia adalah Pak Moh. Sa’i
Bagi masyarakat Desa Pemenang Barat, Pak Sa’i adalah harapan baru dalam menghadapi ketidakadilan yang menimpa perempuan dan anak-anak. Cerita ini bukan hanya tentang perubahan yang terjadi, tetapi juga tentang potensi yang bisa dicapai jika program ini didukung dan diperluas.

Pak Sa’i adalah seorang ASN yang juga seorang guru ngaji di mushola kecil dekat rumahnya. Pak Sa’i bukanlah politisi, dia adalah seorang tokoh agama informal yang dedikasinya terhadap komunitas telah mengubah wajah desanya,
lewat perannya sebagai pemimpin Majelis Krama Desa (MKD), sebuah forum yang berfungsi sebagai pusat penyelesaian konflik dan pemberdayaan komunitas di Lombok Utara.
Sebagai ketua MKD, Pak Sai sering menghadapi berbagai masalah masyarakat, termasuk sengketa perdata, pidana ringan, dan terutama kasus yang melibatkan anak dan perempuan. Pak Sa’i menyadari bahwa banyak masalah di desanya, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak-anak, sering kali diabaikan atau tidak tertangani dengan baik.
Budaya patriarki yang kuat dan minimnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan membuat masalah terkait perempuan dan anak sulit diselesaikan. Masyarakat bahkan tidak berani melapor jika ada kasus-kasus yang menimpa perempuan dan anak, seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Dengan latar belakang sebagai pemimpin agama, Pak Sa’i merasa bertanggung jawab untuk membuat perubahan yang signifikan. Ia memahami bahwa keterlibatan perempuan dalam struktur kepemimpinan desa sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil.
Banyak kasus, seperti perkawinan anak dan KDRT, memerlukan perspektif gender yang lebih inklusif dan mediasi yang sensitif. Pak Sa’i mulai mendorong inklusivitas perempuan dalam struktur MKD.
Setiap kali ada persoalan yang terkait dengan permasalahan anak dan perempuan, Pak Sa’i kerap mengundang tokoh-tokoh perempuan di desa, untuk meminta saran dan masukan. Perjuangan Pak Sa’i tidak bisa dibilang mudah. Selain patriarki yang sangat kuat di Lombok Utara, keterbatasan dana juga sering menjadi kendala operasional MKD.

Dalam suatu pertemuan yang diadakan oleh Pemda Kab. Lombok Utara, Pak Sa’i bertemu dengan Sukran, Sekretaris LPA NTB, untuk mendiskusikan kerjasama penanganan kasus-kasus anak. Pertemuan ini membuka jalan bagi Pak Sa’i untuk berkolaborasi dengan LPA NTB dan NGO yang fokus pada isu perempuan.
Berbagai kerjasama ini memperkuat posisi MKD yang mendapat legitimasi melalui Peraturan Bupati Lombok Utara Nomor 20 Tahun 2017 dan diatur lebih lanjut oleh peraturan desa (Perdes).
Setiap desa mengalokasikan anggaran untuk operasional MKD dalam APB Desa, sementara SOP penyelesaian sengketa berbasis Restorative Justice dibuat pada tahun 2020 untuk memperkuat mekanisme mediasi.
Inovasi dan kolaborasi Pak Sa’i dan tim MKD membuahkan hasil signifikan. Selain pembinaan dari Pemerintah Daerah melalui DP2KBPMD, program pelatihan mediator bersertifikat dari Mahkamah Agung telah melatih lima anggota MKD, memperkuat keputusan yang dikeluarkan MKD sebagai rujukan pengadilan.
(MKD) bersama LPA NTB juga mengembangkan program Restorative Justice, terutama dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), dengan kemitraan The Asia Foundation (TAF).
Pada awal program, keterlibatan perempuan dalam MKD sangat minim, hanya di lima desa dari 33 desa di Lombok Utara yang melibatkan perempuan dalam kepengurusan. Namun, setelah lokakarya penguatan perspektif gender dan perubahan struktur MKD, keterlibatan perempuan meningkat, memperkuat peran MKD sebagai mediator terpercaya di masyarakat.
Kini dari 43 desa yang memiliki MKD, 39 desa sudah memasukkan perempuan dalam keanggotaan mereka. Salah satu tokoh perempuan di MKD adalah Ibu Nur yang aktif dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan perempuan, termasuk kasus perkawinan anak dan KDRT.
Sebelum ada keterlibatan perempuan, kasus-kasus seperti ini banyak dianggap tabu dan akhirnya tidak dilaporkan. Kini, masyarakat lebih berani melaporkan kasus-kasus tersebut, dengan jumlah laporan kasus perkawinan anak meningkat hingga 51 kasus dalam beberapa bulan terakhir.
Keberhasilan MKD di Lombok Utara tidak hanya terletak pada penyelesaian kasus-kasus individu, tetapi juga pada perubahan paradigma komunitas. Masyarakat mulai melihat pentingnya partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan, dan mereka mulai memahami nilai keadilan restoratif dalam menyelesaikan konflik.
Namun, pekerjaan ini belum selesai. Banyak desa masih belum memiliki struktur MKD yang lengkap, dan banyak masyarakat yang belum terjangkau oleh program ini. Dengan dukungan dan kolaborasi lebih lanjut dengan berbagai stakeholder, program MKD ini memiliki potensi untuk diperluas tidak hanya di Lombok Utara tetapi juga di seluruh Indonesia. Dukungan yang lebih besar akan memungkinkan pelatihan lebih lanjut bagi anggota MKD, peningkatan kapasitas perempuan di desa, dan perluasan jangkauan ke desa-desa yang lebih terpencil.
Jika ini tercapai, program MKD dapat menjadi model nasional untuk pemberdayaan komunitas dan penyelesaian konflik berbasis komunitas, membawa manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
_nd