Lembaga Perlindungan Anak NTB menggelar pelatihan kecakapan hidup untuk remaja. Pelatihan yang diikuti fasilitator LPA NTB dan mahasiswa magang dari Unram, UIN dan Universitas 45 Mataram itu berlangsung di Lesehan Mama Ani, Desa Suranadi, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Selasa (24/9)
Menghadirkan konsultan Unicef untuk Program Berani II di Lombok, Suratman, pelatihan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas para fasilitator dan masyarakat dalam memberikan edukasi yang mendorong pengembangan keterampilan hidup bagi anak-anak dan remaja.
Pendekatan life skill dilakukan dengan memperkuat kapasitas anak, anak memahami isu perkawinan anak, selanjutnya memetakan masalah dan apa yang bisa dilakukan di desa. Pada akhirnya, kata Suratman, anak menjadi inisiator pelopor dan pelapor.
Karena itulah pelatihan mencakup berbagai aspek seperti kemampuan berkomunikasi, pengambilan keputusan, pemecahan masalah dan pengelolaan emosi. Dalam hal ini, out put yang diharapkan dapat membantu mereka membuat pilihan yang lebih baik dan menunda pernikahan hingga usia yang lebih matang.
Suratman menyampaikan prinsip kerja lapangan bersama anak harus mengedepankan penghormatan, menghargai hak dan perilaku anak serta tidak membahayakan anak, sangat penting dalam setiap program atau interaksi yang melibatkan anak-anak.
Keterampilan yang diberikan dalam TOT berfokus pada kerja dengan anak mencakup berbagai aspek yang membantu fasilitator dan pendidik efektif dalam mendidik serta mendampingi anak-anak.
Dalam kegiatan TOT tersebut, para peserta mendapatkan pembekalan di antaranya mengenai proses mengenali diri, memetakan masalah, kesehatan seksual reproduksi, ruang aman, penyelesaian masalah perkawinan anak, dan masa depan/impian anak dan desa. Para fasilitator juga dilatih untuk menjadi fasilitator yang handal untuk menjalankan program-program dan pemberdayaan untuk masyarakat.
“Sebagai fasilitator harus mempunyai keterampilan komunikasi efektif dan mampu mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disampaikan anak tanpa menghakimi atau menyela,” katanya seraya menambahkan bahwa fasilitator juga harus sefrekwensi dengan anak dan memahami komunikasi non-verbal seperti membaca bahasa tubuh anak.
“Anak sering sulit mengidentifiksikelebihannya namun untuk mengidentifikasi kekurangannya, banyak,” ujar Suratman. Bagi Suratman, proses mengidentifikasi diri ini bisa dilakukan dengan mengenali.
Kegiatan tersebut diwarnai dengan berbagai macam jenis permainan yang menggembirakan. Pada setiap sesi, baik di awal maupun akhir diisi dengan permainan yang riang gembira serta menjauhkan peserta dari kejenuhan.
Sekretaris LPA NTB, Sukran Hasan, berharap adanya TOT ini para fasilitator yang telah dibekali dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam upaya mencegah pernikahan usia anak di Nusa Tenggara Barat. merisa/ulil