Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB menggelar Sekolah Perlindungan Anak (SPA) dengan sasaran spesifik Pendampingan Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH)”. SPA yang dibuka Ketua LPA NTB, H.Sahan, SH, itu sudah berlangsung 14 September hingga 14 Oktober 2023.
Menurut Sahan, tujuan SPA agar pengetahuan dan kemampuan dasar perlindungan anak pada relawan penghubungan LPA NTB dan masyarakat luas menguat. Selain itu, meningkatnya partisipasi dan terciptanya sistem keterlibatan masyarakat dalam perlindungan ABH.
Hasil yang diharapkan dari SPA adalah adanya pengetahuan dan kemampuan dasar perlindung ana pada relawan penghubungan LPA NTB dan masyarakat luas; Adanya peningkatan partisipasi dalam upaya perlindungan ABH; Terwujudnya system keterlibatan masyarakat dalam perlindungan anak ABH; dan Tersusunnya dokumen analisis kondisi ABH.
Kegiatan SPA yang diikuti para mahasiswa semester akhir itu diisi antara lain dengan workshop konsep perlindungan anak, workshop perlindungan anak berdasarkan hukum internasional dan hukum nasional serta pelatihan penanganan ABH.
Pentingnya SPA, menurut Sahan, tidak lepas dari fakta dan data yang mengancam anak-anak di Tanah Air. Data Kementerian Hukum dan HAM tahun 2023 menunjukan jumlah narapidana anak sebanyak 1.091 orang. Sedangkan UNICEF melaporkan sekira 5.000 anak Indonesia dihadapkan ke pengadilan setiap tahun.
“Meskipun jumlahnya masih tidak pasti, setiap tahun jumlah anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) terus bertambah. Umumnya, mereka ditangkap, ditahan dan dipenjara tanpa mendapatkan bantuan hukum,” katanya.
Diperlukannya perlindungan agar setiap anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sementara itu, Sekretaris LPA NTB, Sukran Hasan, menambahkan, masalah menonjol yang dihadapi dalam penanganan ABH adalah masih minimnya perlindungan yang diberikan, mulai dari akses bantuan hukum hingga pemenuhan hak pendidikan.
Anggapan pelaku kejahatan sebagai sesuatu yang harus dibalas setimpal, masih menguat dalam pikiran masyarakat. Di sisi lain, transformasi penegakkan hukum masih berjalan lambat. Perangka taturan belum sepenuhnya dikuasai.
“Pada tinggat lokal, cara-cara lama masih dominan dalam gerak proses peradilan pidana,” ujarnya.
Menghadap situasi itu, upaya perlindungan ABH harus terus digerakkan dengan kontrol sosial masyarakat dari berbagai lapisan agar pemahaman perlindungan anak meluas.
Keberadaan SPA dinilai mampu memberi pengetahuan kalangan mahasiswa. Para mahasiswa mengaku menerima ilmu yang selama ini tidak diketahuinya terkait perlindungan anak.ds
Wow !